Jakarta, OFM — Suasana pagi di depan Gereja Hati Kudus, Kramat terasa semarak pada akhir pekan di awal bulan September (02/09/2023). Biasanya, suasana semarak tercipta karena adanya aktivitas umat paroki ataupun juga hajatan sakramen. Kali ini berbeda. Sejak pukul 07.30 WIB, halaman gereja telah dipenuhi oleh para Saudara Dina dari komunitas-komunitas di Jakarta, Puncak, dan Depok. Warna kecoklatan jubah para Saudara Dina yang sedang menunggu bus jemputan mewarnai halaman gereja.
Dalam rangka memeringati 40 tahun berdirinya Provinsi St. Michael Malaikat Agung Indonesia, para Fransiskan mengadakan sejumlah rangkaian kegiatan. Salah satunya adalah perjalanan napak tilas ke tempat-tempat bersejarah bagi kehadiran para Fransiskan di Indonesia. Kegiatan serupa pernah diadakan ketika persaudaraan OFM Indonesia merayakan 75 tahun kehadirannya kembali di Bumi Nusantara. Kali ini tiga tempat dipilih untuk dikunjungi, yakni Pelabuhan Tanjung Priok, Gereja Katedral Jakarta, dan Gereja St. Servatius, Paroki Kampung Sawah. Ketiga tempat itu memiliki nilai historis bagi para Fransiskan Indonesia.
Sembari menanti, Sdr. Anton Widarto, OFM, ketua pelaksana kegiatan Napak Tilas memberikan arahan kepada para peserta perihal rute perjalanan yang akan dilewati. Sdr. Martin Harun, OFM, asal Belanda—telah menjadi warga negara Indonesia—menjadi peserta Napak Tilas paling senior. Turut hadir pula Definitor General OFM untuk Asia-Oseania, Sdr. John Wong, OFM yang kebetulan sedang mengadakan kunjungan ke Indonesia dan Timor Leste. Tepat pukul 08.00 WIB bus meninggalkan halaman Gereja Hati Kudus, Kramat. Selain bus, sejumlah mobil dari provinsialat, komunitas pastoran Kramat, Depok, Paskalis, Yayasan Fransiskus, dan Seminari Stella Maris juga ditumpangi para peserta.
Drama menuju Pelabuhan
Pelabuhan Tanjung Priok adalah tempat pertama yang dikunjungi. Pada tahun 1929, lima misionaris Fransiskan asal Belanda menginjakkan kaki mereka di Bumi Nusantara. Pelabuhan Tanjung Priok menjadi pintu masuk ke Bumi Nusantara. Menumpangi Kapal P.C. Hooft, lima misionaris asal Negeri Kincir Angin tersebut menjejaki kaki di Bumi Nusantara. Kedatangan mereka dianggap sebagai kehadiran kembali. Sebelumnya, pada abad ke-12 hingga abad ke-17, sejumlah Fransiskan pernah menginjakkan kaki di Nusantara dalam perjalanan misi menuju ke Negeri Cina.
Pelabuhan Tanjung Priok, pada awal abad ke-20 telah menjadi salah satu Pelabuhan modern di Kawasan Asia Tenggara. Kapal-kapal modern berukuran besar dan bertenaga mesin bersandar di Pelabuhan Tanjung Priok. Rombongan tiba di Pelabuhan Tanjung Priok pada pukul 08.45. Perjalanan terasa cukup lama karena adanya drama kecil lantaran miskomunikasi antara panitia dan supir bis. Supir bis mengira tujuannya adalah Pelabuhan Sunda Kelapa, sehingga waktu tempuh jadi lebih lama.
Akses menuju Pelabuhan Tanjung Priok dipermudah karena bantuan Saudara Francisca Dina, orang muda katolik asal Paroki St. Paulus, Depok yang bekerja di PELINDO, Badan Usaha Milik Negara turut membawahi Pelabuhan Tanjung Priok. Beliau memfasilitasi kunjungan ke pelabuhan penumpang dan Museum Maritim Indonesia.
Setibanya di pelabuhan, rombongan segera mengadakan ibadat bersama. Ibadat dipimpin oleh Sdr. Yon Wangge, OFM, seorang Saudara Muda dari Komunitas Duns Scotus. Ini kali pertama bagi para saudara untuk secara berjamaah beribadat di ruang tunggu Pelabuhan tanjung priok. Apakah dulu kelima misionaris juga beribadat di Pelabuhan Tanjung Priok?
Setelah ibadat, rombongan bergegas menuju Museum Maritim. Tim Museum yuang diketuai Ibu Tinia Budiati telah bersiap memberikan pelajaran singkat seputar Pelabuhan Tanjung Priok. Pihak museum secara hangat menyambut rombongan para Saudara Dina dan oleh karena kedatangan ini, pihak museum membuka pintunya bagi rombongan ini. Pasalnya, pihak pengurus museum belum membuka museum untuk khalayak umum.
Secara resmi pihak PELINDO menerima kedatangan para saudara di Ruang Audio Visual Museum Maritim. Setelah itu, rombongan diberi kesempatan untuk berkeliling melihat koleksi museum. Kekhasan Museum Maritim adalah presentasi materi museum dalam format digital. Tidak banyak dijumpai koleksi fisik dan antik, tetapi berbagai materi disampaikan dalam format digital. Setelah selama kurang-lebih satu jam berada di Museum Maritim, Tanjung Priok, rombongan melanjutkan perjalanan menuju ke Gereja Katedral Jakarta.
Ibadat Siang di Katedral
Matahari hampir berada di atas ubun-ubun ketika rombongan tiba di Gereja Katedral. Kehadiran rombongan dengan jubah cokelat menambah keramaian Katedral Jakarta yang sejak pagi telah dipadati oleh pengunjung, baik untuk berdoa maupun untuk sekadar berkunjung. Katedral dikunjungi bukan hanya oleh pengunjung domestik, tetapi juga pengunjung-pengunjung yang berasal dari luar negeri.
Gereja Katedral menjadi tempat bersejarah bagi kehadiran kembali para Fransiskan di Bumi Nusantara. Setibanya di Pelabuhan Tanjung Priok, lima misionaris pertama langsung menghadap Vikaris Apostolik Batavia saat itu, Mgr. Antonius van Velsen, SJ di Katedral untuk kula nuwun. Sejarah mencatat, mereka diterima dengan baik oleh Vikariat. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa kedatangan para Fransiskan ke Indonesia berkaitan erat dengan misi Gereja dan ketaatan kepada Gereja.
Setelah beberapa saat menunggu, tepat pukul 12.00 WIB, rombongan memasuki Gereja Katedral dan berdoa ibadat siang bersama dalam Katedral. Ketua panitia, Sdr. Anton bercerita, ini adalah pengalaman pertamanya mendoakan ibadat siang dalam Gereja Katederal. Juga untuk segenap rombongan. Mungkin juga, pertama kali bagi para Fransiskan Indonesia merayakan ibadat siang dalam Gereja Katedral. Suasana hening dan kemegahan interior Katedral membuat ibadat terasa khusyuk.
Selepas ibadat dan makan siang, rombongan bersua dengan Romo Hani Rudi Hartoko, SJ dan Romo Yohanes Deodatus, SJ, pastor kepala dan pastor rekan Paroki Katedral. Romo Hani, SJ menjelaskan perihal sejarah Gereja Katedral dan pembangunan Gedung Pemuda di belakang gedung gereja Katedral. “Dulu, kongres pemuda pertama diadakan di gedung yang akan didirikan,” jelasnya. Seusai mendengarkan penjelasan dari Romo Hani, SJ, Sdr. Anton Widarto, OFM menyerahkan kenang-kenangan Napak Tilas berupa plakat kepada Romo Hani, SJ. Selepas foto bersama, rombongan melanjutkan perjalanan menuju Kampung Sawah.
Oscar Cremers dan Sedekah Bumi
Kampung Sawah menjadi tempat perhentian terakhir dari kegiatan Napak Tilas. Berbeda dari dua tempat lain, napak tilas di Kampung Sawah berlangsung selama dua hari. Bukan tanpa alasan. Kampung Sawah memiliki memori penting bagi misi para Fransiskan di Indonesia. Pada masa lampau, sekitaran tahun 1930-an, Kampung Sawah adalah satu-satunya stasi bagi umat Katolik pribumi. Sejak tahun 1930, Sdr. Michael Lunter, OFM, salah satu dari lima misionaris awal yang bertugas di Paroki St. Yoseph, Mesteer Cornelis, melayani umat di Paroki Kampung Sawah sebulan sekali.
Selain Sdr. Michael Lunter, OFM, beberapa misionaris lain turut melayani umat di Kampung Sawah. Salah satu nama yang dikenang adalah Oscar Cremers. Beliau dikenang sebagai pastor yang bersahaja dan menginisiasi tradisi inkulturasi “sedekah bumi”. Suatu tradisi memberkati hasil bumi sebelum dikonsumsi yang terus dilestarikan hingga saat ini. Tradisi sedekah bumi sendiri lazim diadakan oleh masyarakat pribumi (Sunda) pada zaman dahulu. Mural yang dilukiskan di salah satu bagian tembok kompleks paroki menjadi salah satu cara melestarikan kisah gaya pastoral Pastor Cremmers itu.
Pada tahun 1940, para Fransiskan meniunggalkan Kampung Sawah. Demi memperluas wilayah misi ke arah barat pulau Jawa, misi di Kampung Sawah di serahkan kepada para Yesuit. Sebelumnya, Santo Antonius Padua adalah nama pelindung stasi dan (kemudian) paroki Kampung Sawah. Dalam perjalanan waktu, nama pelindungnya diubah menjadi Santo Servatius. Kini, wilayah Kampung Sawah, termasuk paroki Kampung Sawah, dikenal sebagai ikon multikultural dan toleransi di mana umat Katolik, Kristen, dan Islam serta orang Betawi, Jawa, Flores, dan lain sebagainya hidup berdampingan secara rukun dan damai.
Menjelang sore, rombongan tiba di Paroki Kampung Sawah. Rm. Yohanes Wartaya, SJ dan segenap umat paroki telah menanti kehadiran rombongan. Tiga kegiatan diadakan di Kampung Sawah, yakni live-in para Saudara Muda di tengah umat, Perayaan ekaristi, dan meriung bareng para Fransiskan dengan orang muda serta Dewan Paroki dan para tokoh paroki. Tanpa menunggu waktu lama, paraFrater dibagi ke rumah-rumah umat. Total ada empat belas wilayah di Paroki Kampung Sawah dan keempat belas wilayah tersebut kebagian Frater untuk di masing-masing wilayah berdinamika bersama. Bertepatan dengan Pembukaan Bulan Kitab Suci Nasional, live-in menjadi kesempatan bagi umat untuk mendalami Kitab Suci bersama para Frater dan juga mengenal (kembali) para Fransiskan dan cara hidupnya.
Keesokan harinya, Perayaan Ekaristi pada pkl. 08.30 WIB terasa istimewa. Selain karena dirayakan secara inkulturatif dalam nuansa budaya Betawi, gedung gereja St. Servatius juga diwarnai oleh jubah cokelat para Fransiskan. Misa dipimpin langsung oleh Romo Romanus Wahono Wegig, SJ, sebagai konselebran utama didampingi Pater Mikael Peruhe, OFM, Minister Provinsi OFM Indonesia dan Pater Agustinus L. Nggame OFM, serta Pater Anton Widarto, OFM dan Pater Robby Wowor, OFM serta sejumlah imam Fransiskan lainnya sebagai konselebran. Para Saudara Muda bertugas sebagai kor.
Dalam homilinya, Minister Provinsi menjelaskan perihal kedatangan para Fransiskan dalan tema mengenang kehadiran para Fransiskan di Kampung Sawah. “Semua terjadi dalam bingkai misi,” ungkapnya. Dalam kesempatan yang sama, dua misionaris dari dua masa yang berbeda juga turut membagikan pengalaman mereka secara singkat. Sdr. Martin Harun, OFM memberikan kesaksian perihal misi Pater Michael Lunter, OFM di hadapan orang pribumi. Sdr. Melanius Jordan Sesar, OFM membagikan pengalaman misi di Tanah Suci. Dulu, Indonesia adalah daerah misi, kini OFM Indonesia mengirimkan misionaris-misionaris ke berbagai tempat termasuk Tanah Suci.
Selepas misa, para Fransiskan meriung bareng umat dan Dewan Paroki di Pastoran. Para Frater berdinamika dengan misdinar dan orang-orang muda Aula Pondok Damai, tidak jauh dari gereja. Sedangkan para Saudara Tua berbincang-bincang dengan para pastor yang bertugas di paroki, dewan paroki, dan tokoh-tokoh umat. Tema toleransi beragama menjadi pembuka bincang-bincang. Tokoh-tokoh paroki berkisah tentang upaya mereka membangun toleransi dan pastoral kebhinekaan melalui tradisi dan budaya Betawi seperti acara ngaduk dodol.
Meskipun kehadiran di Kampung Sawah telah terjadi lebih dari setengah abad yang lalu, tradisi pastoral khas Fransiskan ternyata masih bertahan. Ritual inkulturasi “sedekah bumi” yang telah dimulai oleh Sdr. Oscar Cremers masih dipertahankan sebagai bagian dari kekayaan iman dan budaya.
Pada akhir bincang-bincang, Sdr. Anton, OFM menyerahkan plakat kenang-kenangan kunjungan ke Kampung Sawah. Napak tilas di Kampung Sawah sekaligus menjadi bentuk silaturahmi antara para Fransiskan dan para Jesuit. Selepas makan siang, kegiatan napak tilas berakhir. Rombongan kembali ke komunitas masing-masing. Selain mengenangkan karya para misionaris terdahulu, kegiatan napak tilas telah menunjukkan kontinuitas karya misi para misionaris awal. Bahkan, sebagaimana di Kampung Sawah, misi yang dijalankan telah menjadi legacy iman yang dirawat umat terus-menerus.
Kontributor: Sdr. Rio, OFM dan Sdr. Vincent, OFM
Tinggalkan Komentar