SURAT MINISTER GENERAL PADA PERISTIWA WAFATNYA PAUS FRANSISKUS

Ditujukan kepada seluruh Ordo Saudara Dina, kepada para Saudari Klaris dan Suster-suster Konsepsionis, kepada para para Saudari-Saudari Fransiskan Ordo Ketiga Regular, serta para Fransiskan Awam.

 

Saudara-saudari terkasih,

Semoga Tuhan memberimu kedamaian!

Saat saya menulis surat ini kepada Anda sekalian, hati saya dipenuhi rasa haru dan rasa syukur sebagaimana Gereja dan seluruh dunia berduka atas kematian Paus Fransiskus, Paus pertama yang memilih nama Bapa Serafik kita sebagai nama pontifikalnya. Pemilihan nama Fransiskus, yang dibuat pada malam pemilihannya sebagai Paus, menyingkapkan arah kepausannya sejak awal; kembali kepada kesederhanaan injili yang selalu baru, Gereja yang dekat dengan orang miskin, dan keutamaan belas kasih, serta perjumpaan dengan setiap pribadi manusia.

Pada waktu belakangan ini telah tampak Paus Fransiskus didera oleh “kelemahan dan kesengsaraan” serius yang telah memberi kita kesempatan untuk melihat bagaimana seorang pengikut Kristus sekaligus seorang imam berjumpa dengan “Saudari Maut.” Ini adalah suatu kesaksian yang sangat berharga di era kedangkalan yang cenderung menyangkal penyakit dan kematian, dan kita juga berterima kasih kepadanya atas kesabarannya dan atas pujiannya kepada Tuhan Yang Mahatinggi dan Baik dalam semua penderitaan yang ditanggungnya.

 

Nama Profetis yang Menjadi Programnya

Kita semua ingat kata-kata yang digunakan Paus Fransiskus untuk menjelaskan pilihan namanya: “Fransiskus, pribadi miskin, manusia perdamaian, pribadi yang mencintai dan peduli terhadap ciptaan,” dan sepanjang pelayanannya sebagai pengganti Petrus, tiga dimensi ini terus-menerus diungkapkan. Pilihan namanya bukan sekadar penghormatan kepada Santo Fransiskus dari Assisi, tetapi program aktual untuk kehidupan dan masa kepausannya — kembali ke inti Injil yang begitu mencirikan jalan hidup St. Fransiskus, Si Miskin dari Assisi.

Injil sine glossa

Inti dari kata-kata dan tindakan Paus Fransiskus adalah pembacaan Injil yang literal dan harafiah — pendekatan yang sama yang mendorong Fransiskus dari Assisi mengatakan: “Inilah yang aku inginkan, inilah yang aku dambakan, inilah yang ingin kulakukan dengan segenap hatiku!” Dalam diri Bapa Suci, kita melihat kemampuan yang sama untuk memahami hakikat pewartaan Injil, tanpa terlalu berfokus pada struktur-struktur, tanpa berkompromi dengan cara berpikir duniawi, dan dengan kedekatan yang secara langsung menyentuh hati umat.

Spiritualitas Ignasian, yang menjadi latar belakang formasi Paus Fransiskus, terjalin dengan sangat baik dengan kepekaan Fransiskan dalam sikap kontemplatifnya terhadap Sabda Allah, dalam kemampuannya untuk ‘melihat dan menyentuh’ pribadi Kristus dalam diri orang miskin dan mereka yang menderita, dalam pencariannya yang terus-menerus akan kehendak Allah melalui disermen.

 

Magisterium dengan Akar Fransiskan

Magisterium (baca: ajaran iman) Paus Fransiskus telah dipupuk oleh banyak wawasan Fransiskan, yang ia perluas dan aktualisasikan kembali untuk zaman kita. Dua ensiklik dengan judul Fransiskan yang eksplisit, Laudato Si’ dan Fratelli Tutti, adalah ekspresi paling utuh dari aktualisasi wawasan Fransiskan, tetapi seluruh korpus ajarannya diresapi oleh kepekaan spiritualitas Fransiskan ini.

Dalam Laudato Si’, Paus Fransiskus mengambil visi kosmis dan relasional dari Kidung Segenap Ciptaan, di mana Fransiskus dari Assisi mengakui persaudaraan antara semua makhluk ciptaan, menyebut mereka sebagai ‘saudari’ dan ‘saudara’. Paus Fransiskus mengembangkan visi ini menjadi ekologi integral, yang mengakui keterkaitan mendalam antara lingkungan alam, masyarakat manusia, dan dimensi spiritual. Frasa yang diulang dalam ensiklik, ‘semuanya terhubung,’ menggemakan ‘segala sesuatu adalah relasi’ yang merupakan sikap Si Miskin dari Assisi terhadap ciptaan. Seruan Apostolik Querida Amazonia juga melanjutkan pendekatan ini, memperluas keprihatinan Fransiskan bagi makhluk ciptaan guna membela budaya asli dan wilayah masyarakat Amazon.

Dalam Fratelli Tutti, Paus Fransiskus mengacu pada pengalaman perjumpaan Fransiskus Assisi dengan Sultan Malik Al Kamil, mengusulkan “persahabatan sosial” sebagai paradigma untuk zaman kita — suatu perjumpaan ‘tanpa senjata’ dengan yang lain, dan kemampuan untuk mengenali sesama sebagai saudara dan saudari melampaui batasan-batasan agama ataupun budaya. Namun, ia juga mengambil intuisi Fransiskus Assisi tentang persaudaraan universal, tentang keadilan sebagai suatu dimensi dari kasih, dan tentang rekonsiliasi yang datang melalui kaum minoritas. ‘Orang Samaria yang Baik Hati’ dalam ensiklik ini mengingatkan kita pada Fransiskus Assisi yang merangkul orang kusta, mengenali dalam dirinya bukan hanya seorang saudara, tetapi Kristus yang menderita.

Dalam surat-surat lain juga, seperti Evangelii Gaudium dan Gaudete et Exsultate, secara mendalam  kita menemukan tema-tema Fransiskan: sukacita yang berasal dari perjumpaan dengan Injil; kesederhanaan sebagai jalan menuju kekudusan; belas kasih sebagai nama Tuhan; dan preferensi bagi orang miskin sebagai kriteria kebenaran injili. Bahkan Seruan Apostolik Amoris Laetitia mengingatkan kembali akan dimensi kasih yang sejati, lembut, dan konkret yang mencirikan Fransiskus dalam hubungannya dengan setiap orang.

Lebih jauh, kita tidak dapat melupakan bagaimana Bulla Pemberitahuan Yubelium Luar Biasa Kerahiman, Misericordiae Vultus, mengingatkan kita pada pengalaman Fransiskus Assisi yang dalam perjumpaannya dengan orang kusta menemukan wajah Allah yang penuh belas kasih. Atau bagaimana Surat Apostolik Admirabile Signum perihal makna Kandang Natal mengingatkan kita pada Natal di Greccio, tempat Fransiskus Assisi ingin “melihat dengan mata jasmani” kemiskinan dan kerendahan hati Putera Allah yang berinkarnasi.

Semua magisterium ini diterjemahkan sebagai visi Gereja yang mengingatkan kita pada persaudaraan Fransiskan awal:  Gereja yang bergerak keluar, dan tidak berfokus pada diri sendiri; Gereja yang miskin dan berada di pihak orang miskin; yang berusaha mengembalikan martabat mereka yang ditolak; yang menjadi ‘rumah sakit lapangan’ untuk menyembuhkan luka-luka kemanusiaan alih-alih sebuah benteng yang kokoh dalam keamanannya sendiri. Kita dapat mengatakan bahwa visi Gereja sebagai umat Allah yang berziarah dalam sejarah, yang matang dengan Konsili Vatikan II, ditemukan dalam diri mendiang Bapa Suci kita, seorang saksi dan seorang arsitek yang yakin dan berani.

Gestur yang Berbicara Dalam Keheningan Paradoks

Seperti Bapa Serafik kita, Paus Fransiskus menenun ke dalam masa kepausannya gestur-gestur yang merupakan perumpamaan yang hidup, bahasa tanpa kata yang mengundang kita untuk melihat melampaui penampilan. Dalam tangannya yang terulur ke arah pria yang cacat karena neurofibromatosis, bukankah ia menjungkirbalikkan norma kecantikan, menunjukkan bahwa wajah yang paling otentik adalah wajah yang tahu bagaimana menghadapi kerapuhan? Ketika ia pergi ke Lampedusa dan Lesbos, bukankah ia mengubah pinggiran geografis ini menjadi pusat spiritual, menjadikan para migran yang ditolak sebagai guru geografi hati yang baru? Dan bagaimana dengan kakinya yang, saat ia membasuh kaki para tahanan, mengungkapkan paradoks Injili bahwa orang yang melayani lebih besar daripada orang yang dilayani?

Sebagai sosok yang berdoa sendiri di Lapangan Santo Petrus yang sepi ketika Covid-19 melanda dunia, bukankah ia menunjukkan bahwa kekosongan bisa lebih fasih daripada kerumunan, bahwa jarak yang dipaksakan dapat menghasilkan kedekatan spiritual yang baru? Dalam gestur-gestur ini kita temukan gaung dari Santo Fransiskus Assisi yang merangkul hal-hal yang membuat semua orang menjauh, yang tidak bersenjata saat semua orang bersenjata, yang berbicara kepada burung-burung saat orang-orang tidak mau mendengarkannya.

Dan bagaimana dengan pilihannya untuk tinggal di Casa Santa Marta? Bukankah itu cara untuk memberi tahu kita bahwa kedekatan dan kesederhanaan itu sangat berharga? Atau cara dia menggunakan kendaraan sederhana ketika protokol menentukan sebaliknya? Tidakkah ini mengajarkan kita bahwa keamanan sejati terletak pada kerentanan bersama? Akhirnya, bukankah bahasanya yang langsung menunjukkan kepada kita bahwa kedalaman yang otentik tidak membutuhkan kata-kata yang rumit, melainkan dalam kesederhanaan yang, seperti dikatakan oleh Bapa Serafik Fransiskus Assisi, adalah “saudari kebijaksanaan?”

Bahasa Paus Fransiskus — langsung, konkret, bahkan terkadang merupakan bahasa percakapan sehari-hari — mengingatkan kita pada khotbah Santo Fransiskus, yang menggunakan gambaran-gambaran sederhana, perumpamaan yang mudah dipahami, dan  gestur-gestur mengesankan untuk menyentuh hati orang-orang. Seperti Si Miskin dari Assisi, yang berkhotbah kepada burung-burung dan menggubah lagu-lagu dalam bahasa sehari-hari, Paus Fransiskus mampu menemukan cara-cara komunikasi yang dapat melintasi batasan sosial dan budaya.

Neologismenya (‘misericordiare’ — ‘berbelas kasih’; ‘primerear’ — mengambil langkah pertama), metafora pastoralnya (Gereja sebagai ‘rumah sakit lapangan’), gambaran-gambarannya yang efektif (gembala dengan ‘bau domba’) telah memberikan kesegaran baru pada pewartaan Injil yang abadi, membuatnya lebih mudah dipahami oleh kepekaan dewasa ini.

Spiritualitas yang Berakar pada Perjumpaan

Dalam berbagai pesan yang disampaikan Paus Fransiskus kepada Keluarga Fransiskan selama masa kepausannya, beliau memiliki pandangan yang jelas perihal apa yang ia anggap sebagai inti spiritualitas Bapa Serafik kita. Dalam pidatonya pada tanggal 31 Oktober 2022 kepada Koordinasi Gerejawi untuk Rangkaian Perayaan 800 Tahun Fransiskan, beliau berkata: “Fransiskus adalah manusia damai, manusia kemiskinan, manusia yang mencintai dan merayakan ciptaan; tetapi apa akar dari semua ini, apa sumbernya? Yesus Kristus. Ia adalah pribadi yang mencintai Yesus Kristus, yang untuk mengikuti-Nya tidak takut mempermalukan dirinya sendiri tetapi terus melangkah maju. Sumber dari seluruh pengalamannya adalah iman.”

Iman Santo Fransiskus ini memiliki sumber dan denyutannya dalam perjumpaan dengan Kristus yang disalibkan dan bangkit dan secara konkret diwujudkan dalam perjumpaan dengan orang miskin. Sebagaimana yang diingatkan Bapa Suci dalam pesannya kepada Kapitel General Tahun 2021 kita: “Pembaruan visi personal; inilah yang terjadi pada Fransiskus Assisi muda. Ia sendiri bersaksi tentang hal ini, dengan menceritakan pengalaman yang, dalam Wasiatnya, ia tempatkan pada awal kisah pertobatannya: perjumpaan dengan orang kusta, ‘ketika apa yang dahulu terasa pahit berubah menjadi kemanisan jiwa dan raga’. Pada akar spiritualitas Anda terletak perjumpaan dengan yang paling kecil dan yang menderita, dalam tanda ‘melakukan tindakan belas kasih.’ Tuhan menyentuh hati Fransiskus melalui belas kasihan yang ditawarkan kepada saudaranya, dan ia terus menyentuh hati kita melalui perjumpaan dengan orang lain, terutama mereka yang paling membutuhkan.”

Kata-kata ini menginspirasi dimensi Kristologis dari keberpihakan terhadap orang miskin dalam diri Fransiskus dari Assisi dan Paus Fransiskus. Bagi keduanya, perjumpaan dengan orang miskin bukanlah satu dari sekian banyak aktivitas, tetapi merupakan pengalaman mendasar dari pertobatan seseorang, locus teologis di mana Kristus sendiri menyatakan dirinya. Orang miskin adalah ‘suatu tanda, hampir sepenuhnya merupakan suatu sakramen kehadiran Tuhan,’ seperti yang dikatakan Paus Fransiskus, dan perjumpaan dengan mereka mampu mengubah kepahitan hidup ‘menjadi kemanisan jiwa dan raga.’ Sebagaimana bagi Santo Assisi, demikian juga bagi Paus Fransiskus, perhatian kepada orang miskin ini membuka jalan baru menuju pemahaman tentang iman. Dengan demikian, orang miskin tidak hanya menjadi penerima tindakan amal kita, tetapi juga guru rohani yang menginjili kita. ‘Orang miskin menyelamatkan kita,’ Paus sering mengulangi kalimat ini, karena mereka menjauhkan kita dari keegoisan, dari ilusi kemandirian, dari berhala kekayaan material, dan membawa kita kembali kepada hakikat Injil.

Penetapan Paus Fransiskus mengenai Hari-Hari Orang Miskin Sedunia, ‘hari Jumat Kerahiman’ selama Tahun Yubileum Luar Biasa, perhatian kepada ‘pinggiran eksistensial’ adalah ekspresi konkret dari visi Kristosentris perihal keberpihakan pada orang miskin. Dalam sikap kasihnya terhadap orang sakit, para narapidana, migran, tuna wisma, orang cacat, dan orang tua terlantar, Paus Fransiskus menunjukkan bahwa pembaruan Gereja yang sejati mesti melalui perjumpaan dengan Kristus dalam diri orang miskin, sebagaimana pertobatan sejati Fransiskus dari Assisi dimulai dengan pelukannya kepada orang kusta.

‘Marilah kita mengasihi bukan dengan kata-kata, tetapi dengan perbuatan’, Paus Fransiskus senantiasa mengingatkan kita, karena dalam perjumpaan konkret dengan orang-orang miskin, iman kita dimurnikan, diperdalam, dan diubah menjadi iman pengikut Kristus yang miskin dan tersalib yang sejati.

 

Situs-Situs Fransiskan dalam Perjalanan Spiritual Paus Fransiskus

Dalam pidatonya untuk Rangkaian Perayaan 800 Tahun Fransiskan, Paus Fransiskus menguraikan perjalanan spiritual yang terinspirasi oleh situs-situs yang terkait dengan kehidupan Santo Fransiskus dan yang juga sangat memengaruhi masa kepausannya.

Perhentian pertama adalah Fonte Colombo, suatu tempat yang berhubungan dengan Anggaran Dasar, bersama dengan Greccio, tempat Santo Fransiskus membuat Kandang Natal. Di sini, Paus melihat “undangan yang kuat untuk menemukan kembali ‘jalan’ Tuhan dalam peristiwa Inkarnasi Yesus Kristus.” Inkarnasi benar-benar menjadi pusat magisterium Paus Fransiskus, yang selalu menekankan konkretisasi iman Kristiani, pada kemampuannya untuk ‘menyentuh daging’ manusia yang menderita, pada penolakan terhadap spiritualisme tanpa tubuh.

Perhentian kedua adalah di La Verna, lokasi Santo Fransiskus menerima anugerah stigmata, yang melambangkan “ ‘meterai terakhir’ yang menyatukan Fransiskus Assisi dengan Kristus yang tersalib, yang mampu menembus perubahan-perubahan manusia yang sangat dipengaruhi oleh rasa sakit dan penderitaan.” Misteri Salib ini, yang dipikul Fransiskus Assisi dalam raganya sendiri, juga telah menjadi pusat khotbah dan tindakan pastoral Paus Fransiskus, yang selalu berusaha membawa penghiburan Kristus kepada orang-orang yang tersalib di zaman kita.

Akhirnya, Assisi, tempat transitus (baca: wafat) Fransiskus di Portiuncula, yang “mengungkapkan kebenaran hakiki Kekristenan; harapan akan kehidupan kekal.” Adalah penting bahwa Paus Fransiskus memilih untuk menjadikan Assisi sebagai tujuan perjalanan apostolik pertamanya, dan bahwa ia telah kembali ke sana berkali-kali untuk menekankan bagaimana harapan Kristen lahir justru dari kemiskinan injili, dari keterpisahan yang membuat kita bebas karena kita telah mempercayakan diri kita sepenuhnya kepada Tuhan.

Dalam perjalanan spiritual ini, yang bergerak dari Anggaran Dasar menuju Stigmata, dan kemudian ke tempat Transitus, kita dapat melihat sintesis sempurna dari jalan yang telah ditawarkan Paus Fransiskus kepada Gereja selama masa kepausannya — kembali terus-menerus kepada kemurnian injili, melalui penyelarasan diri dengan Kristus yang disalibkan untuk mencapai kepenuhan harapan Kristen.

Impian Paus Fransiskus untuk Masa Depan Kita

Dalam pesannya kepada Kapitel General 2021, Bapa Suci mendesak kita untuk tidak membiarkan diri kita dikalahkan oleh keputusasaan dalam menghadapi tantangan yang dihadapi Ordo di berbagai belahan dunia: “Sementara di sebagian besar Ordo Anda menghadapi tantangan penurunan jumlah dan penuaan usia anggota, jangan biarkan kecemasan dan ketakutan menghalangi Anda untuk membuka hati dan pikiran Anda terhadap pembaruan dan revitalisasi yang dibangkitkan oleh Roh Allah dalam diri Anda dan di antara Anda. Anda memiliki warisan spiritual yang sangat kaya, berakar pada kehidupan Injil dan ditandai oleh doa, persaudaraan, kemiskinan, kedinaan, dan peziarahan.”

Dan Paus Fransiskus mengakhiri pesannya dengan kata-kata ini, yang hari ini ingin kita terima sebagai wasiat spiritual:

“Semoga Tuhan Yang Mahatinggi, Mahakuasa, dan Mahabaik menjadikan kalian dan semakin menjadikan kalian saksi Injil yang handal dan penuh sukacita; semoga Ia menganugerahi kalian kesempatan untuk menjalani hidup yang sederhana dan penuh persaudaraan; dan semoga Ia menuntun kalian di sepanjang jalan dunia untuk menabur benih Kabar Baik dengan iman dan harapan.”

Kata-kata ini bergema hari ini sebagai undangan untuk tidak menutup diri dalam nostalgia masa lalu yang tidak akan kembali, atau membiarkan diri kita lumpuh karena takut akan masa depan yang tidak pasti, tetapi untuk menjalani masa kini sepenuhnya dengan kreativitas dan keberanian yang diberikan Roh kepada kita. Ini adalah cara terbaik untuk menghormati warisan spiritual yang ditinggalkan Paus Fransiskus bagi kita — untuk menjadi pria dan wanita yang penuh harapan, yang mampu melihat melampaui kesulitan saat ini guna memahami tanda-tanda kehadiran Tuhan dalam sejarah.

Seperti yang beliau ingatkan dalam pidatonya pada Rangkaian Perayaan 800 Tahun Fransiskan (Franciscan Centenary), mengacu pada pertanyaan Saudara Masseo kepada Santo Fransiskus: “Mengapa seluruh dunia mengikuti engkau, dan setiap orang tampaknya ingin melihat engkau dan mendengar serta menaati engkau?” Agar menemukan jawabannya, Paus memberi tahu kita, “kita harus mendaftarkan diri ke sekolah Si Miskin dari Assisi, menemukan dalam kehidupan injilinya cara untuk mengikuti jejak Yesus. Secara konkret, ini berarti mendengarkan, berjalan, dan mewartakan Injil di wilayah-wilayah pinggiran.”

Pelajaran bagi Kita Para Fransiskan

Kehidupan dan magisterium Paus Fransiskus bagi kita para Fransiskan menyatakan suatu panggilan yang kuat untuk menemukan kembali apa yang penting bagi karisma kita, untuk kembali ke inti Injil, untuk lebih otentik menghayati panggilan kita sebagai saudara dan saudari dan dina.

Teladan hidupnya mengajak kita untuk mengadakan pertobatan terus-menerus; untuk melangkah keluar dari kenyamanan diri guna menjangkau orang lain, terutama mereka yang paling miskin; untuk menghadapi tantangan zaman ini dengan berani; untuk menjadi promotor perdamaian di dunia yang terluka; untuk menghargai segenap ciptaan sebagaimana menghargai dunia ini sebagai rumah kita bersama.

Pada momen dukacita ini, tetapi juga dengan rasa syukur yang mendalam, marilah kita menerima warisan rohani yang diwariskan kepada kita, berkomitmen untuk menghayatinya dengan semangat baru dalam persaudaraan dan pelayanan-pelayanan kita.

 

Kesimpulan: Bersama Bunda Maria Menuju Masa Depan

Saat kita mempercayakan jiwa Paus Fransiskus kepada belas kasih Bapa, kita tidak dapat melupakan ciri mendasar lain yang menyatukan Paus dan Santo Fransiskus Assisi — cinta bakti mereka kepada Perawan Maria. Seperti Santo Fransiskus, yang memuji Bunda Maria sebagai ‘Perawan yang dijadikan Gereja’ dan ‘Istana, Tabernakel, dan Tempat Tinggal’ Tuhan, Paus Fransiskus juga menunjukkan devosi yang lembut kepada Bunda Maria yang “menjadikan Tuhan sebagai saudara kita yang agung” (St. Bonaventura, Legenda Mayor 3).

Dalam pelayanannya, Paus terus-menerus mengingat sentralitas Maria dalam sejarah keselamatan, bukan sebagai figur pelengkap, tetapi sebagai seorang tokoh pendukung aktif dalam rencana ilahi. Ia telah berziarah ke banyak situs ziarah Maria — sejak hari pertama masa kepausannya ketika ia pergi ke St. Maria Maggiore, hingga kunjungan ke Fatima, Loreto, Aparecida, dan banyak situs ziarah Maria lainnya di seluruh dunia.

Doanya di hadapan ikon Maria ‘Salus Populi Romani’ sebelum dan sesudah setiap perjalanan kerasulannya mengingatkan kita pada sikap Santo Fransiskus yang, sebelum kematiannya, ingin dibawa ke Gereja Santa Maria Para Malaikat. Di hati kedua tokoh ini, kepercayaan total kepada Bunda Maria berdetak kencang — sesuatu yang menjadi ciri paling otentik dari orang-orang kudus kita.

Paus Fransiskus sering menekankan betapa sintesis dari apa yang kita sebut sebagai panggilan untuk menjadi Gereja ditemukan dalam diri Maria: menyambut, menghasilkan, kontemplatif, misionaris. Seruannya untuk menjadi ‘Gereja yang keluar’ bergema seperti gema ‘Magnificat’, di mana Maria, setelah menyambut Sang Sabda, “beranjak dan bergegas pergi” untuk membawa Yesus kepada Elisabeth. Dinamisme misionaris Maria ini juga dihayati oleh Fransiskus dari Assisi dalam kehidupannya yang senantiasa berkeliling dan yang diusulkan oleh Paus Fransiskus sebagai model bagi Gereja di zaman kita.

Mariologi Paus Fransiskus, seperti halnya Mariologi Santo Fransiskus Assisi, tidak pernah mengawang-awang atau berciri sentimental, tetapi sangat berciri Kristologis dan eklesiologis. Maria adalah ‘rasul pertama’, dia yang memelihara Sabda dan berjalan dalam iman. Dia adalah ‘Bunda Gereja’ yang menderita di kaki Salib, terus menerus membangkitkan anak-anak baru. Dia adalah ‘Bintang Evangelisasi’ yang menuntun langkah kita dalam mewartakan Injil ke seluruh penjuru bumi.

Sebagaimana kita memercayakan seluruh hidup dan karya kerasulan Paus Fransiskus kepada belas kasih Bapa, marilah kita memohon kepada Tuhan, melalui perantaraan Bunda Maria Tak Bernoda, Ratu Ordo, dan Bapa Serafik kita, agar Ia membangkitkan dalam Gereja-Nya para gembala yang sesuai dengan hati-Nya, yang mampu membimbing umat Allah dengan kebijaksanaan injili yang serupa, dengan belas kasih yang sama bagi mereka yang menderita, dengan cinta penuh gairah yang sama bagi Kristus sebagaimana yang telah kita lihat memancar dalam diri Paus yang agung ini.

Dengan berkat serafik,

 

Br. Massimo Fusarelli, OFM

Minister General

 

alih bahasa: Sdr. Rio OFM

Tinggalkan Komentar