Ekonomi, Lepra dan Kuasa: Jalan Keadilan Fransiskan!

Pemaknaan keadilan dalam masyarakat Eropa abad 13 secara substansial tidaklah jauh berbeda dengan masyarakat lain manapun bahkan hingga saat ini di tempat kita. Kesenjangan sosial, ekonomi dan dalam bidang ‘rohani-keagamaan’ adalah syarat yang lebih dari cukup untuk memunculkan usaha bagi keadilan. Usaha itu dapat timbul di mana-mana dalam segala zaman. Sehingga, pengetahuan akan kondisi-kondisi praktis diperlukan untuk menyibak misteri-misterinya. Namun, kesengkarutan kondisi praktis membuat paham keadilan sering kali menjadi kabur atau berat sebelah. Karenanya, mencari paham keadilan dari Fransiskus Assisi yang hidup 1180-1226, mau tidak mau perlu menelusuri hal-hal praktis dan konkret di zamannya itu.

Fransiskus Assisi hidup di zaman ketika pergolakan militer-mesianik Eropa sedang meletus. Protes mesianis itu terarah pada usaha menentang kesenjangan sosial-ekonomi dan krisis spiritual. Abad 13, Eropa diisi dengan aneka ‘perampasan lahan’ yang dilakukan oleh penguasa: Negara, Bangsawan dan Gereja, terbentuknya kelas sosial baru entah secara ekonomi maupun secara ‘rohani’, ledakan penduduk, urbanisasi besar-besaran ke kota dan politik jenis baru. Atau pendek kata, seperti dikatakan Todeschini, “Fransiskus hidup pada periode dan wilayah di mana ekonomi moneter modern menemukan asal-usulnya” (Giocomo Todeschini, 2009: 12).

Ketidakadilan menjadi pengalaman sehari-hari. Hal-hal itu terejawantah dalam dosa dan kemewahan Gereja, polarisasi kekayaan, kelaparan, wabah penyakit, Perang Salib, dan perang tanpa henti antara faksi-faksi bangsawan (maiores dan minores) Eropa yang saling bersaing. Sejak abad ke-11 dan seterusnya, hidup menjadi semakin kompetitif, berjarak, terkomersialisasi, diatur oleh laba alih-alih oleh tradisi (Marvin Harris, 1974:205). Situasi-situasi ini melahirkan aneka proyek mesianik yang menawarkan jalan keadilan bagi seluruh warga.

 Fransiskus Assisi berada di jalur ‘mesianik’ ini. Tetapi, ia menawarkan cara hidup yang berbeda dari perjuangan kaum Katar, Waldensis, Albigensis, Patarini, ‘Joachimites’ (yang terakhir ini lahir dari  pemikiran Joachim Fiore, 1135-1202, yang hidup sejak sebelum dan pada zaman Fransiskus Assisi dan kemudian menjadi gerakan yang berafiliasi dengan golongan sayap kiri aliran Fransiskan yang sering disebut sebagai kaum spirituales). Ia tidak memilih jalan kekerasan, melainkan jalan damai untuk memperjuangkan keadilan. Lebih jauh, ia memilih hidup di antara dan menjadi bagian dari kaum yang paling terbuang, orang-orang yang sangat terdampak dari ekonomi baru, kekuasaan model baru, cara pandang kekudusan baru: Kaum Lepra. Itulah locus keadilan Fransiskus (an).

Orang-orang Lepra pada Abad Pertengahan sering diatur entah dalam hukum sekular maupun hukum Gereja. Seperti ditulis Courtney A. Krolikoski, “selain tereksklusi di luar batas-batas kota, kaum lepra menjadi ikon kebangkitan perhatian sosial. Dipaksa dan ditekan untuk menggunakan pakaian yang berbeda, menggunakan atribut-atribut lainnya yang sesuai dengan status mereka, kaum lepra secara legal dianggap dan dinilai sebagai ‘yang lain’ (the other). Pada saat yang sama, situasi mereka memperlihatkan tingginya persebaran uang yang didonasikan bagi leprosaria maupun rumah sakit dan bagi karya karitatif untuk kaum lepra (Krolikoski, 2011:33). Kaum lepra menjadi problem: di satu pihak dibenci dan dibuang oleh masyarakat, tetapi di lain pihak menggerakan banyak orang untuk hidup dalam imitatio Christi, melaksanakan karya cinta kasih terhadap mereka.

Kaum lepra, sekurang-kurangnya, mengalami tiga ketimpangan sekaligus. Pertama, hilangnya kepemilikan akan sumber daya produksi. Kedua, mereka tereksklusi dari masyarakat dan dikeluarkan dari komunitas guna membentuk komunitasnya sendiri. Hal ini misalnya tercatat dalam Hukum Sipil Code Rothari, no. 176 dan Hukum Gereja, Canon 23 Konsili Lateran III 1179 dan Canon 22 Konsili Lateran IV 1219. (Krolikoski, 2011:40-41). Ketiga. Kaum lepra adalah orang yang dianggap berdosa, tetapi pantas menerima bantuan dan karya kasih. Canon 22 Konsili Lateran IV menegaskan hal itu (Krolikoski, 2011:43-44).

Sampai di sini, pentinglah diingat bahwa marjinalitas yang dialami oleh kaum lepra tidak hanya disebabkan oleh jenis penyakit tertentu yang sekarang dikenal sebagai Hanse’s Disease, tetapi terutama karena konstruksi pengetahuan-kuasa atasnya yang melibatkan tentu saja Gereja, Bangsawan, dan Negara (Masyarakat). Mengatasi ketiga ketimpangan itu, Fransiskus Assisi berkehendak dan memiliki keberanian untuk melintasi batas-batas. Ia menerobos sekat-sekat yang dibuat oleh ketiga ‘institusi’ itu, guna menegakkan keadilan bagi dan dengan para saudaranya yang miskin dan tersisih.  Ia memeluk, mencium dan hidup bersama orang kusta (1Cel 17, KS3 11, WasFar 1-3).  Perjumpaanya dengan orang kusta itulah yang memberinya semacam ‘pencerahan sosial-rohani’, yang dengan itu ia mampu melihat perjalanan hidupnya dan persaudaraannya bukan melulu sebagai mukjizat dan panggilan tetapi terutama sebagai pilihan.

Lantas Fransiskus, dari seluruh ziarah hidupnya selama 45 tahun, menawarkan jalan keadilannya sendiri:

Pertama. Dalam bidang ekonomi-ekologi. Cara hidup Fransiskus yang bergaul bersama orang kusta dan memilih untuk mencintai Lady Poverty memberi kita visi ekonomi yang jelas. Il Poverello itu menolak segala jenis keserakahan dan eksploitasi, menyangkal hasrat-hasrat manusiawi dan menolak setiap bentuk eksploitasi terhadap alam. Alam dimanfaatkan sejauh untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Itulah ekonomi yang sejati yang berdasar pada ‘penghematan’ dan kesederhanaan. Ekonomi Santo Fransiskus berorientasi untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia berdasarkan interaksi positif dengan manusia lain dan alam (Lih., Laszlo Zsolnai, Religions 2018, 9, 288:2-4). Dalam rangka itu, keadilan ekonomi-ekologi menjadi begitu penting di hadapan ketimpangan penguasaan atas ‘sumber daya produktif-alam’.

Kedua. Aspek Rohani. Dengan hidup bersama orang kusta, Fransiskus Assisi menujukkan bahwa kita semua adalah orang-orang berdosa. Tidak ada yang lebih suci dari yang lain. Dalam bahasa kita sekarang, barangkali, tidak ada kafir-mengkafirkan, sebab kita semua adalah pendosa yang mau bertobat (2 Celano 9). Dengan memeluk orang kusta, hidupnya menjadi tanda pertobatan (Lih., Alex Lanur, Pertobatan Terus-menerus, Jpicofmindonesia.org). Dan itulah visi keadilan rohani dari kemanusiaan yang beriman, yakni hidup dalam pertobatan karena semua adalah pendosa.

Ketiga. Be a Poor with the Poor. Praktik cinta kasih Fransiskus guna imitatio Christi, tidak berhenti dengan melakukan tindakan distributif (distributive act). Sebagai anak bangsawan kaya, sebelum menerabas batas kelas sosialnya, andaikata ia melakukan distributive act saja, selama itu ia merupakan bagian dari kekuasaan yang menindas.  Yang memberi tetap berada di posisi kuasa sementara yang diberi berada di posisi lemah. Itu berarti Fransiskus ikut serta melanggengkan kekuasaan dan penindasan-jarak dan ketimpangan. Maka kemurahan hati saja tidak cukup (Andre Atawolo, GSS edisi 90 tahun OFM:14). Ia mesti hidup dan bergaul-bersahabat dengan orang-orang ‘tereksklusi’. Cara bertindak Fransiskus Assisi itu memberikan awasan/kritikan bahwa bahkan dalam tindakan option for the poor sekalipun, ada kemungkinan kecenderungan untuk menganggap diri lebih hebat dan kaya. Sebab, ada konstruksi marjinalitas yang dipertahankan melalui kuasa-kekayaan dan pengetahuan masyarakat kelas atas (Bdk., Anna Lowenhaupt Tsing, 1993:13-17). Dalam arti itu, lagi, dapatlah dipahami bahwa cara hidup Fransiskus Assisi yang mengatasi option for the poor dengan menjadi a poor with the poor (Lih., Lambert, 1998: 41 dalam Speelman, 2018, 4:77) merupakan visi keadilan yang melampaui kemurahan hati.

Keempat. Persaudaraan-damai. Persaudaraan Fransiskus (an) dicirikan dengan kenyataan bahwa tidak ada yang berkuasa. Semua adalah saudara. Semua diberi tempat untuk mengajukan posisi sebagai warga komunitas. Dalam arti ini, semua orang diakui martabatnya. Atau bila berkuasa, kekuasaan dimengerti sebagai ‘pelayanan’ bagi segala makhluk, bukan eksploitasi (Lih., Adrianus Sunarko, GSS edisi 90 tahun OFM: 28-31). Fransiskus sendiri mengharapkan persaudaraannya menjadi ‘yang dina’(lesser brother), agar mereka bergaul dengan siapapun dan segala makhluk tanpa membawa status apapun selain bahwa mereka adalah orang miskin-sederhana.  Fransiskus dan persaudaraannya mengalami bahwa lebih mudah untuk bertemu orang lain, kusta-miskin, ketika mereka tidak memiliki apa pun yang menghalangi akal sehat mereka dan menghalangi hubungan mereka sendiri (Willem Marie Speelman, 2018, 4:77). Sehingga mereka dapat berjuang bersama orang kecil dengan memakai sudut pandang orang kecil, sebab mereka adalah orang kecil. Itulah jalan menuju persaudaraan sejati yang membawa damai.

Dengan demikian, berbicara tentang keadilan Fransiskan berarti mengupayakan hidup berkeadilan dalam keutuhan. Keadilan itu tidak dapat dibicarakan tanpa menimbang hal-hal lainnya. Ketimpangan macam-macam jenisnya yang saat ini misalnya terindikasikan dalam perubahan iklim, kehilangan keanekaragaman, ketidakseimbagan ekonomi global dan lokal, kurang sejahtera-miskin, perampasan lahan oleh Negara-Agama-Perusahaan (‘orang kuat’), ketimpangan hukum, ‘perang agama’, ketidakadilan gender, menuntut suatu solusi radikal. Mengusahakan yang satu tidak dapat mengabaikan yang lain.

Karena itu, suatu pandangan yang integral akan dunia sebagaimana ditunjukkan oleh Fransiskus Assisi dapat menolong kita merealisasikan bahwa aktivitas keadilan secara sistematis berhubungan dengan ekonomi, ekologi, persaudaraan universal, damai, hukum, negara, aspek rohani-keagamaan. (bdk: Laszlo Zsolnai, 2018:6). Sebab Fransiskus sendiri adalah ‘holistic saint’. Artinya, mengusahakan keadilan Fransiskan berarti mengusahakan ekonomi integral, ekologi integral, persaudaraan integral, kedamaian integral. Dalam rangka itu akhirnya, Fransiskanisme adalah antitesis dari ketimpangan, lawan telak dari pengkotak-kotakan, selain janji hidup mengenai keutuhan persaudaraan universal di sini dan di entah.

Oleh: Sdr. Eras A. Baum, OFM

Tinggalkan Komentar