Rabu Abu: Merangkul Kerentanan Manusia

Rabu Abu bisa saja terkesan negatif dan tidak begitu menggembirakan. Penerimaan abu di dahi selalu berarti bahwa kita diingatkan pada satu fakta: kita adalah debu dan akan kembali menjadi debu. Dengan “kembali menjadi debu”, bukankah itu tampak sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan? Kita tentu tidak begitu saja menerima bahwa perayaan tahunan ini selalu identik dengan ingatan akan fakta kematian. Kematian bukanlah sesuatu yang ingin kita pikirkan, apalagi dirayakan dalam liturgi dan doa.

Namun, dari sudut pandang iman Kristiani Rabu Abu lebih berkaitan dengan kehidupan daripada kematian. Perayaan ini mengingatkan kita apa artinya menjadi manusia, bukan perihal nanti tetapi tentang kondisi sekarang ini (hic et nunc). Menjadi manusia berarti menjadi makhluk terberkati sekaligus insan yang rapuh. Dan, Rabu Abu adalah ajakan khusus untuk menatap kerapuhan kita sendiri dengan cara yang berdaya menyembuhkan (healing), memberi kekuatan (strength) dan menjamin keberanian (courage).

Tentu saja, kerapuhan sebagai manusia bukanlah keadaan yang mengabaikan kompleksitas keberadaannya. Dengan kompleksitas yang ada itu, manusia justru tidak terhindarkan dari statusnya sebagai makhluk terbatas. Dalam konteks ini, kata yang sesuai untuk menggambarkan keadaan rapuh itu adalah kata rentan (vulnerable); manusia adalah makhluk yang rentan, seperti dunia yang juga rentan.

Merangkul Kerentanan (Embracing Vulnerability)

Rentan berarti terbuka. Saat di mana bagian dari diri kita yang tidak kuat dan indah terlihat oleh orang lain dan begitu terbuka bagi mereka. Kerentanan adalah keberanian untuk tampil dan muncul begitu saja di saat kita tidak memiliki kendali atas suatu hasil yang akan kita terima.

Pernahkah Anda mencoba sesuatu yang baru tanpa yakin hasilnya akan baik-baik saja? Kemudian Anda menjadi rentan karena membiarkan kegagalan menjadi suatu kemungkinan yang nyata. Pernahkah Anda memaafkan seseorang yang mengkhianati Anda? Kemudian Anda menjadi rentan karena Anda membuka diri untuk disakiti lagi. Pernahkah Anda meminta bantuan? Anda menjadi rentan karena Anda mempertaruhkan kelemahan Anda terungkap. Pernahkah Anda mencintai orang lain? Anda menjadi rentan karena Anda mengambil risiko jika yang bersangkutan tidak membalas cinta itu.

Hidup ini memberi kita banyak kesempatan untuk menerima kerentanan. Kita dapat memilih untuk membagikan perasaan kita dalam suatu relasi tanpa mengetahui bagaimana tanggapan orang lain. Kita dapat memilih untuk mengambil kesempatan pada jalur karir yang baru, sembari menyadari bahwa kita mungkin tidak berhasil. Namun, penting diingat bahwa kita tidak selalu dapat memilih jenis kerentanan yang kita alami. Hidup juga memaksa kita ke dalam kerapuhan-kehancuran yang sepenuhnya bertentangan dengan keinginan kita.

Pada momen tertentu, kita terlempar ke dalam kerentanan yang mengerikan dan menakutkan, terutama di hadapan aneka peristiwa yang tidak mengenakkan; sahabat kita pergi jauh dan tak pasti akan kembali, saat anak kita putus sekolah, saat ekonomi rumah tangga melemah, saat relasi dengan atasan memburuk, dan sebagainya. Kita tidak akan pernah bisa memilih dan memilah jenis tantangan apa saja yang bisa disodorkan kepada kita.

Kerentanan semacam ini juga diperlihatkan di dalam Injil melalui sabda bahagia Yesus. Dia mengajarkan bahwa menjadi rentan (baca: menjadi miskin, lemah lembut, dan rendah hati) adalah kesempatan untuk berjumpa dengan Yang Ilahi (bdk. Mat. 5:3). Ungkapan-Nya ini sebenarnya membantu kita untuk menyadari dan bahkan menghargai kerapuhan insani kita untuk kemudian dijadikan sarana pertumbuhan dan transformasi.

Penerimaan kita terhadap kerapuhan, kesalahan, tantangan, dan rasa sakit dapat menciptakan ruang bagi anugerah Tuhan untuk melakukan kehendak-Nya. Kita hendaknya berani melucuti ego dan gagasan palsu tentang kepenuhan diri (self-sufficient) yang tidak memberi ruang memadai bagi rahmat Allah. Menjadi rentan adalah pintu yang harus kita lalui untuk menjadi yang terbaik dan otentik. Membiarkan diri kita rentan adalah cara menerima kerapuhan diri. Dalam arti ini, debu Rabu Abu adalah pengingat yang kuat akan kerentanan yang merupakan bagian dari DNA spiritual kita sebagai manusia, makhluk yang terbatas.

Pertobatan, Ikhtiar Merangkul

Yohanes Pembaptis melalui seruannya di padang gurun Yudea, “Bertobatlah, sebab Kerajaan Surga sudah dekat,” mengajak kita bertobat (Mat. 3:1). Ajakan itu bermaksud mengundang kita agar memberi ruang di hati dan hidup kita bagi Allah yang ingin mengisi ruang kosong diri dan hidup kita itu. Dari pihak kita yang berniat tobat, mestinya ada respons yang positif terhadap undangan-Nya.

Pertobatan bukanlah tentang perasaan bersalah dan malu atas kekurangan kita. Tobat lebih mengacu pada satu fakta bahwa kita punya “rasa kekurangan”. Dengan demikian, tampaklah bahwa dalam arti ini pertobatan dimaknai sebagai suatu penerimaan akan keterbatasan diri, yakni bahwa kita selalu tidak cukup di hadapan semesta. Kita tidak bisa sendirian, karena itu tobat mengandaikan suatu langkah pasti dalam melucuti ego kemanusiawian kita. Dengan kata lain, laku tobat adalah cara untuk merangkul kerentanan dan kerapuhan kita. Debu Rabu Abu mengingatkan kita bahwa hidup lebih besar daripada pengalaman pribadi kita. Kita tidak memegang kendali atas hidup ini. Kegelisahan kita karena rapuh adalah tanda bahwa sebenarnya rahmat Allah sudah selalu dibutuhkan dalam hidup manusia.

Pertobatan pada akhirnya adalah berakhirnya ilusi manusia akan ketergantungan hanya pada dirinya sendiri, juga terhentinya habitus mengelak dari kenyataan bahwa pada hakikatnya manusia itu bergantung pada Allah dan tidak mampu sepenuhnya mengendalikan hidup lantaran keterbatasannya sebagai ciptaan. Oleh karena itu, beberapa tindakan dalam rangka ikhtiar pertobatan itu dapat ditunjukkan sebagai berikut:

Pertama, berpuasa. Puasa tidak semata-mata dimaknai sebagai suatu teknik menurunkan berat badan. Puasa adalah cara melepaskan ketergantungan kita pada hal-hal yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Sebab sering kali kita lebih mudah terbuai oleh tawaran keinginan ketimbang memprioritaskan kebutuhan. Berpuasa bisa dijadikan momen untuk membatasi diri, berani menolak hasrat untuk hanya mencari sensasi berupa kenikmatan semu. Dengan melepaskan ketergantungan kita pada hal-hal yang tidak benar-benar kita butuhkan, memberi kepada mereka yang lebih membutuhkan daripada diri kita sendiri, dan menyerah pada kehadiran Tuhan dalam hidup ini, kita dapat melihat “kekurangan” kita sendiri secara langsung. Begitulah cara kita menyadari diri selain sebagai berkat, juga sekaligus sebagai makhluk yang rapuh.

Kedua, amal/bersedekah. Tindakan berderma dan memberikan sedekah bagi orang yang membutuhkan adalah suatu cara berpartisipasi dalam posisi manusia lain yang juga dalam keadaan rentan. Dengan cara inilah kita menyadari bahwa bukan hanya kita yang rentan. Dunia penuh dengan orang lain yang juga sama seperti kita, yakni hidup dalam kekurangan, kerapuhan, kerentanan. Barangkali mereka rentan dalam cara yang berbeda dari kita, tetapi dengan menjangkau mereka yang membutuhkan, kita menjadi saksi atas derita dan rasa sakit mereka. Dengan berdiri dalam solidaritas dengan kerapuhan dan kekurangan mereka, kita mengambil langkah menuju kesembuhan-kesempurnaan kita sendiri.

Ketiga, berdoa. Doa merupakan praktik spiritual yang tidak pernah ketinggalan zaman. Tidak hanya selama Prapaskah tetapi sepanjang tahun, doa adalah cara yang ampuh untuk berpartisipasi dalam komunitas ilahi. Doa menghubungkan kita dengan sesama dan dengan Allah. Kesatuan suci ini menyatukan kerentanan diri kita dengan pribadi yang lain, untuk kemudian menciptakan suatu keutuhan baru yang indah.

Ketiga bakti iman-spiritual di atas merupakan upaya konkret dari ideal pertobatan. Ketiga-tiganya tidak berdiri sendirian karena melakukan yang satu lalu mengabaikan dua tindakan lainnya justru tidak punya makna apa-apa dalam hal mengupayakan keutuhan relasi manusia dengan sesama dan dengan Allah. Dalam kerentanan itu kita sedang berjalan menuju kesempurnaan terutama persatuan dengan Allah yang selalu menawarkan rahmat. Kepekaan pada tawaran rahmat Allah itu yang akan mengantar kita -kendati rentan-  kepada keutuhan-kesempurnaan. Kita selalu diberi kesempatan untuk bertobat melalui rangkulan kasih-Nya. Upaya kita adalah merangkul kerentanan itu dalam semangat solidaritas sebagai sesama yang rentan sembari tidak menyingkirkan peran Allah dengan kasih-Nya yang tak terbatas itu.

*Ulasan ini merupakan saduran dari tulisan Mary Ann Steutermann, “Dust to Dust: An Ash Wednesday Reflection” dalam Franciscanmedia. Penulis mengalihbahasakan berikut meringkas dan menambah beberapa hal yang perlu.

Sdr. Effendy Marut OFM

Tinggalkan Komentar